PEKANBARU - Status
gizi di Indonesia, terutama pada balita, masih menjadi permasalahan. Di
antaranya masalah gizi kurang, gizi buruk serta stunting. Stunting atau
biasa disebut dengan balita pendek merupakan indikasi buruknya status
gizi dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang
pada anak.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes)
Kota Pekanbaru dr Zaini Rizaldy, Jumat (31/12). Pemerintah Kota
(Pemko) Pekanbaru komit dalam menekan angka Stunting di ibukota Provinsi
Riau itu.
"Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK)
merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan stunting,
yang sebaliknya berdampak jangka panjang hingga berulang dalam siklus
kehidupan," ujarnya.
Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan
mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan
berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Pada kondisi berulang
(dalam siklus kehidupan), maka anak yang mengalami kurang gizi di awal
kehidupan (periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada
usia dewasa.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting
pada balita. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lainnya.
"Menurut Unicef Framework ada tiga faktor utama
penyebab stunting yaitu asupan makanan yang tidak seimbang, Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) dan riwayat penyakit. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting adalah intervensi
yang dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)," ungkap dr. Bob,
sapaan akrabnya.
Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua
intervensi yaitu gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan
intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung. Selain
mengatasi penyebab tersebut, makan diperlukan faktor pendukung yang
mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan
pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan.
"Penurunan
stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari
pemenuhan prasyarat pendukung," ucap Dokter Bob.
Pemko
Pekanbaru menangani permasalahan stunting melalui perbaikan gizi pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan menggencarkan sosialisasi ASI
eksklusif, pendidikan gizi untuk ibu hamil, pemberian TTD untuk ibu
hamil, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), Pemberian Makan pada Bayi dan Anak
(PMBA), program penyehatan lingkungan, penyediaan sarana, dan prasarana
air bersih dan sanitasi.
Berdasarkan data 2021, persentase kasus
balita stunting tertinggi terdapat di Kecamatan Limapuluh sebanyak 76
kasus (7,29%), Kecamatan Payung Sekaki sebanyak 26 kasus (2%), dan
Kecamatan Rumbai Barat sebanyak 30 kasus (1,91%). Sedangkan persentase
stunting terendah terdapat di Kecamatan Kulim sebanyak 2 kasus (0,08%).
Bila
dibandingkan dengan data 2020, persentase kasus balita stunting
tertinggi terdapat di Kecamatan Sail sebanyak 62 kasus (9,06%),
Kecamatan Limapuluh sebanyak 101 kasus (7,18%), dan Kecamatan Tenayan
Raya sebanyak 231 kasus (3,41%). Sedangkan persentase stunting terendah
terdapat di Kecamatan Senapelan sebanyak 5 kasus (0,38%).
Berdasarkan
Perwako Nomor 134 Tahun 2021 tentang Konvergensi Percepatan Pencegahan
dan Penurunan Stunting maka ditetapkan 15 Kelurahan dari 83 kelurahan
yang menjadi lokasi fokus Stunting pada tahun 2020/2021. Berdasarkan
data pada 2020, kasus stunting tertinggi terdapat di Kelurahan Suka
Mulia (11,59%), Melebung (10,39%), dan Tanjung Rhu (8,70%).
Sedangkan
prevalensi stunting tertinggi tahun 2021 terdapat di Kelurahan Pesisir
(11,31%), Tanjung Rhu (6,67%), dan Rumbai Bukit (4,22%). Prevalensi
stunting yang terendah terdapat di Kelurahan Lembah Sari (1,33%) dan
Rejosari (0,30%). Terdapat 1 kelurahan yang mengalami kenaikan
prevalensi stunting dari tahun 2020 ke tahun 2021 yaitu Kelurahan
Pesisir.
Hal ini dikarenakan Kelurahan Pesisir berada di wilayah
pinggiran sungai. Sehingga, akses sanitasi dan PHBS yang kurang baik di
tingkat rumah tangga serta lingkungan yang tidak bersih akan membuat
balita mudah terkena penyakit infeksi yang berulang.
"Selain
itu, faktor ekonomi masyarakat di daerah tersebut tergolong menengah ke
bawah. Ditambah lagi dengan kondisi pandemi Covid-19 yang mempengaruhi
pemenuhan gizi masyarakat terutama balita berkurang sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita," jelas dr Bob.
(Kominfo11/05)